Di
antara adegan yang mengharukan dalam film "Sang Kiai" adalah tatkala
Hadratussyaikh berbincang dengan para putranya: KH. A. Wahid Hasyim, Gus
Karim Hasyim, Gus Kholiq Hasyim, Gus Yusuf Hasyim, dan KH. Baidlawi
(menantu). Hadratussyaikh merelakan para putranya terjun ke medan tempur
Surabaya. Solihin, abdi ndalem Hadratussyaikh yang sangat loyal, hanya
sesenggukan di pojok ruangan menyaksikan peristiwa itu. Seorang ayah
yang memberikan dukungan bagi perjuangan para putranya.
Begitu
pula tatkala para santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah
berdesakan menjejali truk yang di depannya terpampang bendera "Lasykar
Hisboellah". Gus Yusuf Hasyim, putra bungsu Hadratussyaikh, yang saat
itu baru beberapa bulan lulus pendidikan PETA, dengan semangat
mengkoordinasikan milisi santri ini naik ke bak truk.
Gus
Yusuf Hasyim pula yang, pada 1947, diminta ayahnya mengajari cara
mengoperasikan pistol, agar, "sebelum aku mati setidaknya aku bisa
menembak satu dua Belanda dengan tanganku sendiri," kata Hadratussyaikh
sambil mengarahkan pistol ke arah pintu, yang tiba-tiba saja Solihin, si
abdi ndalem berwajah polos, berada di sana melaporkan kedatangan utusan
Jenderal Sudirman. Suasana haru yang dipadu dengan kejenakaan. Aih....
Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah, dua milisi santri yang dilatih
Jepang. Sudancho dan Daidancho, komandan dan wakil divisi, mayoritas
diambil dari priayi dan kiai. Daftar nama Sudancho dan Daidancho dari
kalangan kiai ini dapat ditemukan di bukunya KH. Agus Sunyoto, "Sufi
Ndeso versus Wahhabi Kota", maupun di buku Prof Mansyur Suryanegara,
"Api Sejarah" jilid 2. Suka duka para santri dan kiai dalam latihan
militer Jepang ini ditulis oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam "Guruku
Orang-Orang dari Pesantren" dan "Berangkat dari Pesantren". Pola
pertempuran secara hit and run dan nama-nama pejuang bisa ditemukan di
buku "Laskar Hizbullah" dan "Peranan Santri dalam Mempertahankan
Kemerdekaan", keduanya terbitan PWNU Jatim (maaf jika judulnya kurang
tepat karena saya nulis status ini saat antre beli kardus bekas dan
menunggu hujan reda, sekaligus mumpung ada ide). Di berbagai daerah,
perjuangan dua laskar ini dapat ditemukan di buku biografi "KH. Dzofir:
Sang Pejuang", "Biografi KH. Djauhari Zawawi", "Biografi KH. Masjkur",
"Biografi KH. Zainul Arifin", "Biografi KH. Miftah Tegal" &
"Gugurnya Kapten Kiai Ilyas".
Laskar Hizbullah dan Barisan
Sabilillah, yang mengiringi perjuangan Jenderal Sudirman, maupun
mempertahakan kemerdekaan inilah yang sengaja dilupakan oleh sejarawan
Orde Baru. Apalagi saat kebijakan Ra-Re tahun 1947-1948, TNI kemudian
didominasi oleh alumni KNIL, PETA, Gyugun, dan HEIHO. Laskar Hizbullah,
Barisan Sabilillah dan laskar rakyat lain tersingkir karena kebijakan
Ra-Re ini mewajibkan bisa baca aksara latin (!) agar postur militer
ideal sebuah negara terbentuk. Dari ribuan anggota Laskar Hizbullah dan
Sabilillah hanya beberapa saja yang kemudian berdinas di militer: Kiai
Yusuf Hasyim, Kiai Munasir Ali, dan Kiai Sullam Syamsun. Sisanya kembali
ke barak sesungguhnya (pesantren dan lahan dakwah lain).
Jika
panjenengan berkunjung ke musem 10 Nopember Surabaya, tak ada diorama
maupun narasi tentang dua barisan pejuang santri ini, sungguhpun museum
ini diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Di museum Jogja Kembali
atau museum Brawijaya Malang, apalagi! Hanya Museum NU yang menyediakan
sejumput kisah tentang keduanya.
Menyaksikan perjuangan Lasykar
Hizbullah dan Barisan Sabilillah, seolah mencermati nasib Legiun IX
dalam kisah romawi. Kisah perjuangan Legiun handal yang di-delete dari
narasi sejarah Romawi karena tendensi politik! Legiun IX, bisa diingat
kembali melalui film CENTURION. Sebagaimana film "Centurion" yang
mengangkat kembali nasib Legiun IX Romawi, "Sang Kiai" juga berpotensi
mengingatkan kita sebagai anak bangsa mengenai perjuangan para kiai dan
santri, melalui Hizbullah dan Sabilillah, dalam ber-Indonesia!
Semoga kita tetap ingat dan menjaga ingatan, karena kata Milan Kundera,
perjuangan manusia pada hakikatnya adalah perjuangan melawan lupa!
amnesia historis?! semoga tak terjadi!
Posted in: Film